1. Konsep Ipteks dalam Islam
Ipteks adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International Webster’s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003)
Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan (Quraish Shihab, 1996). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.
Al-qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan Al-qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah.
Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek.
Pertama, turunnya wahyu pertama ( Al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan perintah untuk membaca, ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirinya dan lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga terpahami betul makna dan hakikatnya.
Kedua, banyaknya ayat Al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-An’aam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga.
Ketiga, Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah dari itu (al-A’raf 7 : 179).
Keempat, Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9).
Sedangkan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia yang berakibat kehancuran alam semesta. Oleh sebab itu teknologi bersifat netral artinya bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya atau juga bisa digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Adapun seni termasuk bagian dari budaya manusia sebagai hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian dari budaya manusia.
Selanjutnya teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral, tetapi dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek harus senantiasa berada dalam jalur nial-nilai keimanan dan kemanusiaan.
Batasan Iptek dalam Islam
Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi.
Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi.
Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah, senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat diterima dalam Islam.
Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah (hukum alam hukum Allah)
Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri.
Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan Islam tidak bebas nilai.
- 2. Integrasi Iman, Ipteks dan Amal
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran yang disubut Dienul Islam.
Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan seni.
Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.
- 3. Keutamaan Orang yang Berilmu
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaannya karena dibekali dengan seperangkat potensi. Dan potensi yang paling utama adalah akal. Akal berfungsi untuk berfikir dan hasil pemikirannya itu adalah ilmu pengetahuan. Dengan akal manusia mampu melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya (Abdullah Daim. 1984). Bagi orang-orang yang berbekal dan senantiasa bernalar untuk mengembangkan ilmunya, Allah menyebutnya dengan sebutan Ulil Albab (QS. Ali Imron : 190)
Tentang keutamaan orang yang berilmu, di dalam Al Qur’an Surat Al Mujadalah : 11, Allah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Derajat yang diberikan Allah bisa berupa kemuliaan pangkat, kedudukan, jabatan, harta dan kelapangan hidup. Jika manusia ingin mendapatkan derajat yang tinggi dari Allah, manusia berupaya semaksimal mungkin meningkatkan kualitas keimanannya dan keilmuannya dengan penuh keikhlasan dan hanya untuk mencari ridha Allah semata.
Imam Al Ghozali juga mengatakan “Barang siapa yang berilmu, akan dapat membimbing dirinya dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang harum dan menyebarkan pesona keharumannya kepada orang yang berpapasan dengannya.”
- 4. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam Lingkungannya
Ada dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai Abdun (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di bumi. Esensi dari Abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi dari Khalifah adalah tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks Abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang pencipta kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghamba kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya.
Fungsi kedua adalah sebagai Khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam posisi ini manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh Allah untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia.
Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup (para ilmuwan atau para cendekiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan, memberdayakan dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah tangan manusia sendiri (Qs. Ar Rum : 41). Mereka banyak yang menghianati perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengeksploitir alam ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kedua fungsi manusia tersebut tidak boleh terpisah, artinya keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara terpadu, akan dapat mewujudkan manusia yang ideal (insan kamil) yakni manusia sempurna yang pada akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat
Daftar Pustaka
- Al Faruqi, Ismail R, 2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah peradaban, Bandung; Cet. III Gemilang Mizan.
- Daim, Abdullah. 1984. Tarbiyah ‘Abdru Tarikh, Min Ushuri Qadimah hatta Qarnu Isyrin. Beirut; Darul ‘Ilmi lil Mu’allim. Cet. Ke 5.
- Daud, Ali Muhammad, 1998. Pendidikan Agama Islam, Jakarta; PT Rajawali Grafindo Persada.
- Departemen Agama RI, 2001. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta.
- Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta; Bulan Bintang.
- Shihab, M, Quraish. 1996. Mermbumikan Al-Qur’an. Bandung; Cetakan ke 12. Mizan.
Sumber : http://mindaudahedu.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar