post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Rabu, 30 Mei 2012

Kebudayaan Dalam Islam

1. konsep kebudayaan dalam islam
Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya. Budimengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan berarti kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan mempergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998 : 35)
Oleh karena itu, jika kita membicarakan kebudayaan berarti kita membicarakan kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya. Dengan melakukan berbagai kegiatan dan aktivitasnya manusia berusaha dengan daya upaya serta dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengerjakan sesuatu guna kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup itu dapat dicapai jika manusia mampu menggunakan akal budinya dengan baik.
Kebudayaan adalah alam pikiran atau mengasah budi. Usaha kebudayaan adalah pendidikan. Kebudayaan adalah pergaulan hidup diantara manusia dengan alam semesta. Boleh jadi kebudayaan adalah usaha manusia melakukan tugas hidup sebagai khalifah fil ardli (wakil Tuhan di bumi).

A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, telah mengumpulkan kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan (Musa Asy’ari.1992)  secara garis besar definisi sebanyak itu dapat dikelompokkan dalam enam kelompok, sesuai dengan sudut pandang mereka.
Kelompok pertama melihat dan pendekatan historis, kedua dari pendekatan normatif oleh Ralph Linton, ketigadari pendekatan psikologi oleh Kluckkhonh, keempat dari pendekatan structural oleh Turrney, kelima dari pendekatan genetik oleh Bidney dan keenam dengan pendekatan deskriptif oleh Taylor.

Dilihat dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas, namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya, manusialah itu pencipta kebudayaan. Kebudayaan itu hadir bersama dengan kelahiran manusia sendiri. Dari penjelasan tersebut kebudayaan itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai sutau produk.
Al Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil akal, budi rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani dan setan, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islami.
Oleh karena itu, misi kerasulan Muhammad SAW sebagaimana dalam sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Artinya Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaan sesuai dengan petunjuk Allah.
Awal tugas kerasulan Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar dan Jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit, yaitu asimilasi budaya setempat dengan nilai-niali Islam itu sendiri, kemudian menghasilkan kebudayaan Islam, kemudian berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
  1. Sejarah Intelektual Islam
Perkembangan pemikiran Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution (1986), dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa klasik antara tahun 650 – 1250 M, masa pertengahan antara tahun 1250 – 1800 M, dan masa modern, yaitu sejak tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama Madzab seperti, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Syafi’I bersama dengan itu lahir pula filosof Muslim seperti Al-Kindi tahun 801 M, Ar Razi tahun 865 M, Al Fabari tahun 870 M. dia dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Berikutnya Ibnu Maskawaih tahun 930 M, merupakan pemikir terkenal tentang pendidikan akhlak, kemudian Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1183 M, dan Ibnu Rusydi tahun 1126 M.
Pada masa pertengahan, dalam sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat, dan pengaruhnya terasa sampai sekarang.
Ini merupakan awal kemunduran Ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam. Sejarah dengan perdebatan di kalangan filsuf muslim juga terjadi perdebatan antara fuqoha dengan para ahli teologi. Pemikiran saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu dan aturan urusan dunia dengan urusan akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada para penguasa pemerintah, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak diikuti lagi oleh umatnya dan kondisi umat menjadi carut-marut kehilangan figur pemimpin yang dicintainya.
Ada pertanyaan yang mendasar yang dilontarkan oleh intelektual Muslim. Mengapa umat Islam tidak bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknlogi modern? Bukankah dahulu yang menguasai ilmu dan filsafat orang-orang Muslim? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena orang Islam tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar masa klasik dan masa pertengahan. Pada masa kejayaan banyak terbuai dengan kemegahan yang bersifat material, oleh karena itu, pada jaman modern ini nampaknya jarang sekali para ilmuwan dan tokoh-tokoh ilmu kaliber dunia yang lahir dari negara-negara kaya dari Timur Tengah, atau dari Negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam seperti Negara Indonesia ini.
3. Masjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti sholat, padahal fungsi masjid lebih luas dari itu. Pada zaman Rasulullah, masjid berfungsi sebagai pusat peradaban. Nabi mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajar Al-qur’an dan Al-hikmah, bermusyawarah berbagai permasalahan umat hingga masalah upaya-upaya peningkatan kesejahteraan umat. Hal ini berjalan hingga 700 tahun, sejak Nabi mendirikan masjid yang pertama, fungsi masjid dijadikan symbol persatuan umat dan masjid sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas kemudian bermunculan justru dari masjid. Masjid Al Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang dapat dikenal oleh umat Islam di dunia.
Masjid ini mampu memberikan bea siswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program nyata masjid.
4. Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya, yaitu budaya Arab. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, dirasakan umat sulit membedakan ajaran Islam dan budaya Arab. Dalam ajaran Islam meniru budaya suatu kaum itu boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, apalagi yang ditirunya adalah panutan suci nabi Muhammad Saw, namun yang tidak boleh adalah menganggap bahwa nilai-nilai budaya Arab dipandang sebagai ajaran Islam
Corak baju yang dikenakan Rasulullah merupakan budaya yang ditampilkan oleh orang Arab. Yang menjadi ajarannya adalah menutup aurat, kesederhanaan, kebersihan dan kenyamanan. Sedang bentuk dan mode pakaian yang dikenakan umat Islam boleh saja berbeda dengan yang dikenakan oleh nabi Muhammad Saw, demikian pula cara makan nabi dengan jari-jemari bukan merupakan ajaran Islam.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia para penyiar Islam mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para Wali Allah di tanah Jawa. Karena kehebatan para Wali dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islammasuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Tugas berikutnya para intelektual Islam adalah menjelaskan secara sistematik dan berkelanjutan supaya penetrasi yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan bangsa Indonesia ternyata tidak sekedar masuk pada aspek kebudayaan semata, tetapi sudah masuk ke wilayah hukum. Sebagai contoh dalam hukum keluarga (akhlawul syakhsiyyah) masalah waris, masalah pernikahan. Nilai-nilai Islam telah masuk ke wilayah hukum yang berlaku di Indonesia.
Daftar Pustaka
  • Al Faruqy, ismail R, 2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung; Mizan
  • Asyari, Musa, 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Qur’an. Yogyakarta; LESFI
  • Ghazalba, Sidi, 1998. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta; Pustaka Antara
  • Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta; Bulan Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar