post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Jumat, 25 Mei 2012

Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar


Nama pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif, yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Denanyar, memang sudah tak asing lagi buat orang Indonesia – lebih-lebih bagi masyarakat Jawa Timur. Apalagi tak sedikit tokoh-tokoh yang berkaliber nasional, lahir dari pesantren ini. Tapi siapa sangka kalau dulu daerah ini merupakan tempat yang jauh dari sentuhan moralitas agama?
Desa Denanyar, semula sangat dikenal sebagai pusatnya Mo Limo. Berbagai bentuk kemaksiatan, sudah menjadi irama rutin masyarakatnya. Lebih-lebih dengan begal, perampasan secara paksa terhadap orang yang berani melintasi tempat tersebut. Namun justru itulah yang membulatkan tekad KHM. Bishri Sansuri, untuk mendirikan pondok pesantren di tempat yang berjarak 2 Km arah Barat kota Jombang. Dengan dorongan istrinya Nyai Hj. Noor Khodijah dan mertuanya KH. Hasbullah serta gurunya KH. Hasyim Asy’ari, pada tahun 1917 diwujudkanlah keinginan itu.
Berangkat dari sebuah surau kecil dan empat orang santri, dimulailah kegiatan pondok pesantren. Di samping itu, Kyai kelahiran 18 September 1886 di Tayu Pati ini juga kerap melakukan dakwah di luar pesantren, keliling dari satu desa ke desa lainnya. “Waktu itu sudah menjadi kondisi rutin kalau di tengah jalan Mbah Bishri tiba-tiba dicegat orang. Bahkan ada pula yang sampai nglurug ke sini,” tutur KH. Abdul Mujib Shohib mengkisahkan.
Tindak kekerasan semacam itu tak pernah menyurutkan Kyai Bishri dalam melakukan tugas-tugas dakwahnya. Dia hadapi semua tantangan tersebut dengan pendekatan yang lentur, namun tetap tegas dalam sikap dan pendiriannya. Dalam waktu yang cukup singkat, cara-cara tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Mereka pun akhirnya mulai memahami dengan sepak terjang yang dilakukannya selama ini. Lambat laun datanglah santri-santri dari daerah sekitar, lalu meluas ke masyarakat desa lainnya, kemudian terus berkembang hingga banyak santri yang datang dari lain kecamatan.
Bahkan berselang dua tahun, dibukalah kelas khusus untuk santri-santri perempuan – satu hal yang belum lazim kala itu. Gadis-gadis desa pun mulai dibuka wawasan dan pandangan hidupnya. Kepada kaum hawa itu ditunjukkan betapa muliahnya perempuan dalam pandangan kaca mata agama. Harga diri mereka pun dibangkitkan. Sebuah emansipasi wanita yang mungkin pertama kali dilakukan di Indonesia. Wanita-wanita berkerudung mulai tampil menampakkan wajahnya di kancah kehidupan sosial. Keindahan agama pun memancar dan bersinar dengan akhlaqul karimah yang mereka sandang.
Pada masa-masa perjuangan fisik menjelang kemerdekaan, pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif terpaksa melakukan rangkap tugas; belajar dan berjuang. Dentuman meriam yang setiap saat membahana, tak pernah menyurutkan niat para santri untuk belajar dan terus saja belajar. Keluarga Besar pondok pun turut ambil bagian secara aktif, untuk terlibat langsung dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, bendera pontren Mamba’ul Ma’arif kian kencang saja berkibar. Pada tahun 1962, didirikanlah Yayasan Mamba’ul Ma’arif sebagai badan tertinggi organisasi. Kini yayasan ini membawahi 11 asrama dan 10 lembaga pendidikan. Asrama-asrama itu meliputi asrama Sunan Ampel, asrama putra-putri Induk, asrama ar-Risalah, asrama Noor Khodijah I, II dan III, asrama al-Bishri, asrama an-Najah, asrama al-Ziyadah, asrama putra al-Hikam dan asrama MAKN (Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri). Sedangkan lembaga pendidikannya meliputi Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ), MI dan MTs serta MA Mamba’ul Ma’arif, MTsN dan MAN Denanyar, SMEA/SMK Bishri Sansuri, Madrasah Diniyah Mamba’ul Ma’arif dan Lembaga Bahasa Arab-Inggris (LBAI).
Saat ini jumlah santri PP Mamba’ul Ma’arif mencapai 2000 santri. Jika ditambah dengan yang ada di lembaga pendidikan formal, jumlahnya berkisar pada 3500 santri. Semua siswa di madrasah, menurut KH. Mujib Shohib, wajib mengikuti materi pelajaran di Madrasah Diniyah yang dilakukan sore hingga malam hari. “Kalau cuma mengandalkan materi pelajaran sekolah di pagi hari, saya kuatir esensi pondok pesantren malah akan sirna,” tutur pengasuh pondok ini menandaskan. “Karena yang menjadi ciri khas pondok itu kan kitab kuning. Inilah yang menjadi rohnya Diniyah,” tambahnya.
Yang menggembirakan, lanjut alumnus pondok pesantren Maslakul Huda Kajen Pati ini, pondok Denanyar masih menjadi kiblat masyarakat sekitar. Respon mereka cukup baik pada pengajian keliling kampung dan desa, yang merupakan program rutin pondok Mamba’ul Ma’arif. Peran serta masyarakat sangat besar terhadap keberadaan pondok pesantren ini. Itulah sebabnya kenapa pengelolaan masjid, seluruh takmirnya secara murni diserahkan kepada masyarakat. Keluarga nDalem hanya sebagai pengisi saja. “Jadi ruhnya dari kami, sedangkan fisiknya adalah masyarakat,” tukas lelaki yang lahir di Madura 21 Nopember 1966 ini.
Sejak mula pendiriannya, sambungnya, Mbah Bishri selalu akrab dengan masyarakat. Dalam setiap perjuangannya, masyarakat selalu dilibatkan secara penuh – meskipun waktu itu belum dalam bentuk formal. Begitu pun sebaliknya, apa pun urusan masyarakat selalu melibatkan Mbah Bishri; mulai soal kelahiran anak, sunatan, pencarian jodoh hingga menuju pelaminan, soal penyakit, pengamanan lingkungan dan sebagainya. “Nah, bentuk hubungan dan komunikasi mesra semacam itu kini kita formalkan, dengan menyerahkan urusan ketakmiran sepenuhnya kepada masyarakat,” tandasnya.
Dengan jalinan komunikasi semacam itu, lanjut jebolan pondok pesantren al-Anwar Serang Rembang ini, bentuk hubungan dengan masyarakat kian harmonis. Mereka masuk ke lokasi pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif seperti masuk rumahnya sendiri. Bahkan dalam radius tertentu masyarakat telah memutuskan agar tidak didirikan masjid lagi. “Padahal di daerah-daerah lain kan ada masyarakat yang sangat takut menemui Kyai pondok. Kalau di sini, ketakutan semacam itu sama sekali nggak ada,” tuturnya membandingkan.
Harapan KH. Mujib Shohib, setelah lulus dari pesantren mereka dapat mumpuni baik di bidang keagamaan maupun keduniaan. Sehingga ketika terjun langsung ke masyarakat mereka tidak ewuh pakewuh. Untuk itulah di sini mereka juga digembleng dengan berbagai keterampilan lewat berbagi kursus-kursus dan pelatihan. Seperti pelatihan di bidang pertanian, peternakan, koperasi, jahit-menjahit dan komputer, serta olahraga dan kegiatan seni budaya. Dengan berbagai kegiatan seperti itu, para santri bisa memilihnya sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Ketika terjun ke masyarakat dengan perubahan sosial-budayanya yang sudah sedemikian rupa ini, dia mengingatkan agar mereka tetap konsisten mengkaji kitab kuning. Sebab disamping sebagai ciri khas lulusan pesantren, itu merupakan bekal dan modal yang sangat mahal harganya. Di samping membangun segi pembangunan fisik, alumni pesantren harus pula membangun sisi mentalitas masyarakatnya. “Itulah sebabnya, saya sangat berharap agar mereka nanti pulang kembali ke kampung asalnya masing-masing. Karena ketika mereka berangkat mondok, masyarakat juga turut mendoakannya,” kilahnya mengingatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar