post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Senin, 14 Mei 2012

Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang



Pesantren Darul ‘Ulum Jombang, ternyata bermula dari tanah petak yang suram. Desa Rejoso Kec. Peterongan tempat berdirinya pesantren ini – yang waktu itu masih berupa hutan – merupakan lembah hitam para penjahat. Para penduduknya kerap berbuat onar. “Pokoknya tingkah laku kesehariannya jauh dari praktek-praktek yang sesuai norma keislaman,” kisah Dra. Hj. Niswah Qonita As’ad.
Atas kenyataan itu, tak banyak orang berani melintasi Rejoso. Semuanya ciut nyali. Tapi tak demikian halnya dengan KH. Tamim Irsyad. Pemuda kelahiran Desa Pareng Bangkalan Madura itu, malah tertantang untuk memperbaikinya. Santri KH. Cholil Bangkalan yang sebelumnya sempat singgah di Desa Pajaran Jombang itu pun lebih memilih tinggal dan menjadikan Rejoso sebagai ladang dakwahnya.
Tahun 1885, KH. Tamim Irsyad memulai perjuangannya dengan mengajar mengaji. Dia dibantu menantunya, KH. Cholil – sosok alim yang pernah mengenyam pendidikan agama di bawah bimbingan KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang dan KH. Cholil Bangkalan.
Kyai Tamim yang mengajar al-Qur’an dan ilmu hukum syari’at, sementara Kyai Cholil membina mental spiritual santri dengan gemblengan ajaran tasawuf lewat amalan Thareqat Qodiriyah Wannaqsabandiyah. “Dua keilmuan itulah yang akan selalu melekat pada pengajaran di pesantren ini,” ujar Pengasuh Asrama Putri XI Muzamzamah-Chosi’ah ini.
Jejak langkah dakwah dua kyai tersebut seakan menemukan cahaya. Metode dakwah yang mereka kembangkan ternyata diminati banyak orang. Ada sekitar 200 santri yang ingin belajar. Mereka tak hanya datang dari Jombang, tapi juga Mojokerto, Surabaya, Madura bahkan Jawa Tengah. Karena banyak yang berasal dari luar kota, Kyai Tamim pun merasa harus segera mendirikan pondok para santri.
Tahun 1898, Kyai Tamim pun mulai mendirikan sebuah surau dan membangun sebuah tempat lagi pada tahun 1911. “Surau itu sendiri hingga sekarang masih terawat baik dan masih dipakai balai pertemuan dan pengajian,” terang anak keempat pasangan KH. M. As’ad Umar dan Nyai Hj. Azzah As’ad ini.
Pengajaran di pesantren ini pun semakin berkembang pesat seiring datangnya KH. Syafawi – adik KH. Cholil – yang mengajar bidang studi ilmu tafsir dan ilmu alat. Sayang, Kyai Syafawi tak berusia panjang. Pada tahun 1904, dirinya wafat. Dua puluh enam tahun berselang, Kyai Tamim menyusul. Maka, pesantren ini pun hanya menyisakan Kyai Cholil sebagai pengasuh tunggal.
Dalam kesendirianya, Kyai Cholil sempat mengalami jadzab. Untunglah, kondisi itu tak berjalan lama. Dia pun tak sendirian lagi mengasuh pesantren. Sebab tak lama kemudian, KH. Romly Tamim tampil seusai nyantri di Tebuireng dan berguru kepada KH. Akhmad Jufri Karangkates Kediri, serta KH. Zaid Buntet Cirebon. Putra ke dua Kyai Tamim Irsyad itulah yang kemudian meneruskan tugas dan tanggung jawab ayahnya dalam pengajaran ilmu syari’at.
Tahun 1937, Kyai Cholil wafat. Dia digantikan anaknya, KH. Dahlan Cholil yang sempat mengenyam pendidikan agama di Makkah seusai nyanti di Tebuireng. “Kyai Romly dan Kyai Dahlan lah yang kemudian memimpin perkembangan pondok pesantren pada periode pertengahan (1937-1958),” jelas perempuan kelahiran Jombang, 26 Februari 1969 itu.
Di tangan kedua tokoh muda inilah, lembaga pendidikan dakwah islamiyah ini mulai menunjukkan identitasnya. “Mereka memberikan nama untuk pesantren ini dengan sebutan Pondok Pesantren Darul ‘Ulum yang berarti rumah ilmu,” papar alumnus S1 Jurusan PAI Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini.
Pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini semakin pesat dan tidak hanya berkutat pada ilmu agama saja. “Wawasan keilmuan yang bersifat umum mulai diberikan,” tukas suami H. Ali Muhsin, M.Pd.I atau yang biasa dipanggil Gus Ali ini. Pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada pun semakin jelas dengan dibentuknya struktur organisasi pondok.
Kyai Romli Tamim, urai ibu tiga anak ini, memegang kebijakan umum Pondok Pesantren serta ilmu thasawuf dan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. Sementara KH. Dahlan Cholil memangku kebijakan khusus siasah (manajemen) dan pengajian syariat plus al-Qur’an. Kyai Ma’soem Cholil – adik Kyai Cholil Dahlan – mengemban organisasi sekolah dan manajemennya. Sementara Kyai Umar Tamim – adik Kyai Romli Tamim – sebagai pembantu aktif di bidang kethareqatan. “Semua tugas tersebut masing-masing dibantu oleh santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al Isyaqi yang berasal dari Surabaya dalam praktikum thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah,” jelas Dosen PAI Fak. Tarbiyah UNIPDU itu.
Pada tahun 1938, didirikanlah sekolah klasikal yang pertama di Darul ‘Ulum yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyyah Darul ‘Ulum. Sebagai tindak lanjut pendidikan MI tersebut, tahun 1949 didirikanlah Madrasah Mu’allimin (untuk putra). Sementara untuk putri, baru dibangun tahun 1954. “Siswanya waktu sudah mencapai tiga ribu orang,” ujarnya bangga.
Anggota jam’iyah Thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah pun bertambah jumlahnya. Selain Jombang, jamaah yang tergabung berasal dari daerah-daerah kabupaten lainnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, bahkan ada Sulawesi Selatan. Hingga sekarang, kita masih bisa menyaksikan ritualnya di pusat latihan Rejoso jika jam’iyah ini mengadakan perayaan khusus bagi warganya. “Yang lazim adalah tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Sya’ban, bulan Muharrom dan bulan Rabi’ul akhir,” terang pembina pengajian muslimat NU Kec. Peterongan tersebut.
Duka pun menyelimuti keluarga pesantren Darul ‘Ulum, ketika tahun 1958 dua tokoh sentralnya meninggal. Kyai Dahlan wafat di bulan Sya’ban, disusul Kyai Romly pada bulan Ramadhan. Pesantren Darul ‘Ulum pun mengalami kesenjangan kepemimpinan, terutama dalam bidang thareqat dan ilmu al-Qur’an.
Beruntung, Darul ‘Ulum masih memiliki Kyai Ma’soem Cholil. Sayangnya, estafet kepemimpinan kepada Kyai muda ini pun tak berlangsung lama. Sebab tiga tahun berselang, dirinya wafat. Darul ‘Ulum kembali bangkit seiring tampilnya Kyai Bisri Cholil dan KH. Musta’in Romly sebagai pemimpin utama. Darul ‘Ulum pun banyak mengalami perubahan dalam bidang struktur organisasi, bidang bentuk pendidikan maupun dalam bidang sarana fisik.
Pada tahun 1965 didirikanlah Universitas Darul ‘Ulum sebagai kelanjutan wadah pendidikan. Universitas tersebut memiliki enam Fakultas: Alim Ulama (Ushuluddin), Hukum, Sosial-Politik, Pertanian, Ekonomi, serta Ilmu Pendidikan.
Ketika tampuk kepemimpinan dilimpahkan kepada KH. M. As’ad Umar, pesantren ini mengalami masa keemasan. Tugas kelembagaan semakin diperinci sesuai profesi perseorangan yang duduk di personalia lembaga. Maka, selanjutnya di pesantren ini ada tiga lembaga: Yayasan Darul ‘Ulum, Yayasan Universitas Darul ‘Ulum dan Yayasan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. “Masing-masing yayasan terikat oleh nilai dan norma misi kelembagaan Darul ‘Ulum yang termuat dalam garis besar Khiththah Trisula,” jelasnya.
Sekarang, pesantren ini telah memiliki 16 sekolah formal: MIN, MTsN, MTs Plus, MAN, MA Unggulan, SMP I, SMPN 3 Unggulan, SMA DU I Unggulan BPP-Teknologi, SMA DU II Unggulan BPP-Teknologi (RSNBI), SMA DU III, SMK I & II, SMK TELKOM, Sekolah Tahassus Al-Qur’an, UNIPDU dan UNDAR. Pesantren ini juga mengembangkan sekolah non formal. Diantaranya Pendidikan Kepramukaan, Pendidikan Leadership, Pengajian Weton (lima hari sekali), Pengajian Bandongan dan Sorogan, Pendidikan Qiro’at al-Qur’an dan Pendidikan Kader Organisasi.
Pesantren ini juga ditunjang dengan sarana prasarana yang memadai. Darul ‘Ulum memiliki 14 gedung sekolah formal dengan 108 lokal, dua gedung keterampilan, sembilan aula pertemuan, satu masjid dan sebelas mushala, serta dua kantor pusat dan tiga belas kantor unit. Pesantren ini juga dilengkapi 4 kantin makan, 6 sarana wartel, 1 pusat koperasi, 1 unit kantor Bank, 1 unit Usaha Kesehatan Pondok (UKP), 5 Lab. IPA, 8 Lab. Bahasa dan 1 Lab. Komputer.
Untuk menampung sedikitnya 7.000 santri, telah disediakan 34 gedung asrama dengan total 234 kamar. Bagi mereka yang gemar berolah raga, pesantren telah menyediakan 2 lapangan sepakbola, 8 lapangan bulu tangkis dan 8 lapangan basket, serta 13 lapangan tenis meja. Semua sarana itu semakin lengkap dengan hadirnya gedung Islamic Center dan Rumah Sakit UNIPDU. “Mudah-mudahan kami dapat segera merealisasikan pembangunan yang lebih berkualitas. Sebab, apa yang kami miliki ini masih dibangun di atas tanah seluas 6 Ha dari 40 Ha yang kami miliki,” ucapnya berharap.
Semua siswa yang bersekolah di Darul ‘Ulum wajib tinggal dan mengikuti pelajaran di asrama. Sama seperti pondok beraliran salaf lainnya, selain mengkaji kitab kuning, banyak aturan ketat yang harus dipatuhi para santri. Diantaranya, santri tidak boleh membawa HP dan dilarang merokok. Bagi santri yang berniat membawa Laptop pun harus dititipkan. “Setiap penggunaan fasilitas komputer dan internet, pasti ada yang pengawasnya. Kami telah menyediakan area khusus untuk semua itu,” ujarnya.
Dengan semua fasilitas tersebut, lulusan pesantren Darul ‘Ulum diharapkan tidak hanya fasih dalam ilmu agama, tapi juga menguasai IPTEK dan memiliki mental spiritualitas yang mumpuni. “Sekolah untuk kuasai IPTEK, Asrama guna mendalami ilmu agama, serta pengamalan thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah buat membentengi dan menyucikan hati,” tandasnya. Ded

Tidak ada komentar:

Posting Komentar