post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Sabtu, 18 Agustus 2012

15 Alasan Merindukan Ramadhan

Ibarat seorang kekasih, maka Ramadhan selalu diharapkan kedatangannya. Setiap muslim selalu mempersiapkan diri menyambut datangnya Ramadhan. Begitu pula saat Ramadhan hampir berakhir, rasanya tak ingin berpisah. Sedih rasanya saat menapaki hari terakhir di bulan Ramadhan, meskipun esok harinya fajar 1 Syawal telah menunggu.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa : “Andaikan setiap hamba Allah mengetahui apa yang ada dalam Ramadhan, maka ia bakal berharap satu tahun itu puasa terus” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Mengapa Ramadhan begitu istimewa bagi kaum muslimin? Alasan apa yang menyebabkan Ramadhan begitu dirindukan kehadirannya dan mengapa setiap Ramadhan usai ada rasa sedih dan rindu tatkala berpisah dengannya?
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa Ramadhan selalu dirindukan oleh kaum muslimin yang beriman.
1. Derajat Taqwa
Taqwa adalah tujuan diperintahkannya kaum yang beriman untuk berpuasa sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Al Baqarah ayat 183. Derajat taqwa merupakan derajat yang paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah..
Kemudahan-kemudahan bagi hamba yang bertaqwa antara lain :
- memperoleh jalan keluar dari semua masalah (QS. Ath-Thalaaq : 2 & 4)
- dicukupi semua kebutuhannya (QS. Ath-Thalaaq : 3)
- ketenangan jiwa, tak khawatir dan sedih hati (QS. Al A’raf : 35)
2. Bulan Pengampunan
Dalam hadits disebutkan : “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanannya dan karena mengharap ridha Allah, maka dosa-dosa sebelumnya diampuni” (HR. Bukhari – Muslim dan Abu Dawud)
3. Pahala dilipatgandakan
Rasulullah bersabda : “Setiap amal anak keturunan Adam dilipatgandakan. Setiap satu kebaikan sepuluh lipat gandanya hingga tujuh ratus kali lipat” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup
“Kalau datang bulan Ramadhan, maka terbuka seluruh pintu surga, tertutup pintu neraka dan setan-setan dibelenggu” (HR. Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah)
5. Ibadah istimewa
Dalam hadits qudsi Allah berfirman : “Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya, kecuali puasa. Itu milikku dan Aku yang membalasnya karena ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku” (HR. Bukhari-Muslim).
6. Dicintai Allah
Hadits qudsi : “Kalau Aku telah mencintai seseorang , Aku menjadi pendengaran untuk telinganya, menjadi penglihatan untuyk matanya, menjadi pegangan untuk tangannya, menjadi langkah untuk kakinya” (HR. Bukhari)
7. Dikabulkannya Doa
Firman Allah : “Tiga doa yang tidak ditolak oleh Allah, orang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan doanya orang yang teraniaya. Allah mengangkat doanya kea wan dan membukakan pintu-pintu langit. Demi kebesaran-Ku engkau pasti Aku tolong meski tidak sekarang” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Firman Allah : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, katakanlah bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku” (QS. Al Baqarah : 186)
8. Turunnya Lailatul Qodar
Allah menyatakan dalam firman-Nya : Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan mereka mengatur segala urusan. Malam itu adalah malam yang penuh dengan kemuliaan sampai terbit fajar” (QS. Al Qodar : 4-5)
Di sepuluh hari terakhir ini pula orang melaksanakan I’tikaf dan berharap Lailatul Qodar datang menemui dirinya.
9. Puasa meningkatkan kesehatan
Manfaat puasa antara lain : mengistirahatkan organ pencernaan pada siang hari, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengeluarkan racun dan zat-zat yang tidak diperlukan dari dalam tubuh, mempercepat regenerasi sel, meningkatkan fungsi biologis dan syaraf, menghambat perkembangan dan pertumbuhan bakteri, virus dan sel-sel kanker, memperbaiki fungsi hormone dan lain-lain.
10. Dua harapan
“Setiap orang berpuasa selalu mendapat dua kegembiraan, yaitu tatkala berbuka puasa dan saat bertemu dengan Tuhannya (di akhirat)” (HR. Bukhari)
11. Masuk surga melalui pintu khusus Ar Royyaan
“Sesungguhnya di surga itu ada sebuah pintu yang disebut Ar Royyaan yang akan dilewati oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat nanti. Tidak diperbolehkan seseorang melewatinya selain mereka. Ketika dipanggil, mereka akan segera bangkit dan masuk semuanya kemudian ditutup” (HR. Bukhari).
12. Minum air telaga milik Rasulullah
“Mereka (para sahabat berkata) : “wahai Rasulullah, tidak setiap kami mempunyai makanan untuk diberikan kepada orang yang berbuka puasa. Beliau berkata : Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi buka puasa meski dengan sebutir kurma, seteguk air atau susu. Barang siapa memberi minum orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum seteguk dari telaga dimana ia tidak akan haus hingga masuk surga” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).
13. Harta dan jiwanya tersucikan
Setiap muslim wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk mensucikan jiwa. Demikian pula dengan harta yang telah terkumpul selama satu tahun dan telah mencapai nishabnya, maka wajiblah dizakati. Harta dan jiwa yang disucikan ini di akhirat nanti akan dapat menghindarkan diri dari api neraka. Harta yang barokah akan mendatangkan ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebaliknya harta yang tidak barokah akan mengundang kekhawatiran dan ketidaktenangan dalam hidup.
14. Qaulan Tsaqilaa
Di bulan Ramadhan ditekankan untuk melakukan shalat malam dan tadarus Al Qur’an terutama pada sepertiga malam terakhir. Untuk semaraknya syiar Ramadhan, diperbolehkan shalat malam di sepertiga malam yang pertama dengan berjamaah di masjid yang popular disebut sebagai shalat Tarawih. Orang-orang yang suka melakukan shalat malam wajahnya bakal memancarkan cahaya kewibawaan. Allah juga menganugrahi qaulan tsaqilaa yaitu perkataan-perkataan yang berbobot dan berwibawa. Ucapan-ucapannya selalu mengandung kebenaran dan bernilai tinggi, jauh dari kesan mengobral kata-kata.
15. Berkumpul dengan sanak keluarga
Hari kemenangan setelah Ramadhan adalah Idul Fitri 1 Syawal. Silaturrahim saling memaafkan biasanya dilakukan oleh setiap orang. Kalau pada bulan Ramadhan moment mohon ampun dilakukan hanya kepada Allah, maka di bulan Syawal maaf memaafkan dilakukan antara manusia dengan manusia. Khususnya dengan kerabat dekat yang biasanya menyempatkan diri untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dari sini kemudian muncul mudik lebaran dengan berbagai transportasi yang gunakan. Selanjutnya dapat kita lihat, dimana-mana terjadi pemandangan yang khas yang popular disebut sebagai syawalan atau halal bi halal dalam satu keluarga besar, instansi atau lembaga dan lain-lain.

Rabu, 08 Agustus 2012

Keutamaan Malam Lailatul Qadar


Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dimuliakan Allah ta’ala. Allah ta’ala menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat, karena pada malam itu Allah Ta’ala mentakdirkan ajal, rizki dan apa yang terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah ta’ala. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)

Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut. Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad Dukhan: 3)

Allah Ta’ala juga memuliakan malam ini dalam firman-Nya:

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (Al Qadr: 2-3)

Maksudnya, amalan di malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih. Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wasallam berusaha mencari malam Lailatul Qadar. Beliau bersabda:
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang akan datang.”

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian Allah Ta’ala mensifati malam itu dengan firman-Nya:

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al Qadr: 5)

Allah ta’ala mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.

Akan tetapi, Allah Ta’ala menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya.

Ringkasnya, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga merupakan nikmat dari Allah ta’ala yang mendatangi seorang muslim di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak yang sangat dia butuhkan. (Penjelasan Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)

Kapan Malam Lailatul Qadar itu?

Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.

Al-Imam Asy-Syafi’I t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau mengatakan:

“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh Ali Hasan, hal. 87)

Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar

Dari Ubai ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Pagi hari dari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga sampai tinggi.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:

“Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)

Wallahu a’lam.

Selasa, 07 Agustus 2012

Apakah Perkara-perkara Ini Membatalkan Puasa?: Suntikan, Spray, Merokok, Pasta gigi/odol, menelan ludah/dahak, Mencium/bermesraan, Onani, Bekam/Donor darah, Haidh & Nifas



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 Apakah hukum suntikan bagi orang puasa?

Jawab: Suntikan itu ada dua jenis:
  1. Jenis yang berkedudukan sperti makanan dan minuman, seperti suntikan infus dengan berbagai macamnya. Maka segala sesuatu yang berkedudukan selayaknya makanan dan minuman hal itu membatalkan puasa.
  2. Jenis yang tidak berkedudukan selayaknya makanan atau minuman. Sesuai dengan pendapaat yang benar maka hal ini tidak membatalkan puasa, karena tidak ada dalil yang benar, yang jelas yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan.

Apa hukum menggunakan spray bagi penderita asma yang berpuasa?

Jawab: Yang benar bahwa hal itu tidak mengapa, meskipun ada sebagian butiran air yang masuk. Karena sebagian spray mengandung butiran air, dan butiran air mengakibatkan basah yang terkadang masuk ke kerongkongan. Maka yang benar adalah hal ini tidak mengapa karena ini perkara yang sulit untuk dihindari. Dan ini semisal dengan berkumur dan memasukkan air ke hidung saat wudhu’. Seseorang akan tetap tersisa suatu air pada rongganya dan tidak mungkin dia mengambil tisu lalu mengelapnya di dalam rongga mulutnya.
Dan kaidah syar’iyah mengatakan “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”. Akan tetapi tetap diingatkan bahwa pemakai spray tidak boleh berlebih-lebihan dalam memakainya, namun memakainya sekedar kebutuhannya saja. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika wudhu’.
Termasuk dalam hal ini adalah asap pengharum ruangan yang dihirup oleh seseorang tanpa sekehendaknya lalu masuklah ke kerongkongannya. Maka hal ini tidak mengapa karena hal ini adalah perkara yang sulit dihindari. Namun lebih baik hal ini ditinggalkan, tidak seharusnya orang yang puasa menggunakan asap pengharum ruangan ini dikarenakan adanya kemungkinan masuknya asap ini.

Apakah rokok membatalkan puasa?

Jawab: Rokok itu membatalkan puasa, karena dia beroperasi pada jalan masuknya makanan dan minuman dan juga dia memiliki selera yang ada pada makanan dan minuman. Maka rokok itu membatalkan.

Lalu bagaimana dengan orang yang di samping orang merokok dan menghirup asapnya?

Jawab: Bahwa Allah Ta’ala telah mengangkat dari umat ini setiap perkara yang sangat memberatkan, dan orang ini dia terpaksa menghirupnya dan tidak menyengaja menghirupnya. Maka insyaallah tidak masalah, karena “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”.

Apa hukum menggunakan pasta gigi di saat sedang puasa?

Jawab: Sebaiknya ditinggalkan berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dari berlenih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika wudhu’. Sangat mungkin engkau memakainya selaing di saat puasa, seperti sebelu adzan subuh atau setelah masuk waktu buka. Akan tetapi jika seeoran butuh memakainya di siang hari puasa untuk menghilangkan bau tak sedap boleh baginya menggunakannya dengan catatan tidak berlebih-lebihan dalam memakainya.

Apa hukum menelan ludah atau lendir / dahak bagi orang puasa?

Jawab: Yang benar setiap yang sangat sulit untuk dihindari maka tidak mengapa karena “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”. Jika ada ludah dalam mulutmu tidak mengapa engkau menelannya, akan tetapi jika engkau sengaja mengumpulkannya kemudian menelannya maka hal ini tidak boleh, dan jika diteruskan dikhawatirkan akan merusak puasanya. Demikian juga masalah menelan dahak hukumnya sama dengan menelan ludah. Dan guru kami Syaikh Al-’Utsaimin berfatwa bahwa orang sengaja menelan dahak batal puasanya, dan pada kesempatan lain mengatakan ditakutkan puasanya akan batal.

Apa hukum mencium dan bermesraan dengan pasangan di saat puasa?

Jawab: Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim adalah penentu dalam permasalahan ini. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sedang beliau dalam keadaan puasa, dan beliau bermesraan dalam kedaan puasa dan Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bisa mengendalikan nafsunya.
Jika ciuman atau bermesraan itu tidak mengancamnya akan terjatuh pada syahwatnya maka tidak mengapa dilakukan pada saat puasa. Dan jika dikhwatirkan ciuman atau bermesraan itu akan mejatuhkan dia pada syahwatnya atau dikhawatirkan keluarnya mani maka tidak boleh dilakukan. Oleh karenanya Ibnul Qayyi rahimahullah menguatkan bahwa orang yang ditakutka akan terjatuh pada syahwatnya maka mencium dan bermesraan saat puasa baginya makruh. Jika bisa menguasai nafsunya maka tidak mengapa.
Tambahan: Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: Orang yang tidak bisa menguasai syahwatnya tidak boleh mencium dan bermesraan meskipun dia sudah tua / lanjut usianya. Dan orang yang mencium atau bermesraan kemudian keluar madzinya maka puasanya tidak batal, meskipun hal ini tetap ada pegaruhnya bagi kesempurnaan puasanya.

Dan beliau menegaskan bahwa orang yang melakukan onani pada saat puasa maka batal puasanya.

Karena dia tidak lagi mempuasakan syahwatnya. Dan onani itu haram berdasarkan ijma’ para shahabat sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Muqbi rahimahullah dalam kitabnya, dan orang yang menukilkan bahwa Imam Ahmad memberikan rukhshah maka nukilan itu tidak benar penisbahannya pada beliau.

Apa hukum mengeluarkan darah bagi orang yang puasa? Entah dengan bekam atau donor darah?

Jawab: Jika pengeluaran darah itu hanya sedikit dan tidak mengganggu badannya maka tidak membatalkan puasa. Dan jika mendatangkan gangguan sehingga ditakutkan membahayakan badannya maka lebih baik ditinggalkan, dan secara benar hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapu hadits yang bermakna “Orang yang berbekam dan pembekamnya telah batal puasanya” adalah hadits yang diperbincangkan. Dan maknanya bukanlah oang yang berbekam atau yang membekam itu batl puasanya, tetapi maknanya bahwa bekam itu menjadi sebab batalnya sebuah puasa. Menjadi sebab batalnya puasa orang yang membekam dari sisi (kalau jaman dulu) ketika yang membekam menyedot darah dikhawatirkan akan masuk pada kerongkongannya. Adapun menjadi sebab batalnya puasa yang berbekam karena pengeluaran darah itu akan menjadikan dia lelah sehingga mengantarkan pada batalnya puasa.
Dan yang menegaskan bahwa bekam itu tidak membatalkan puasa adalah hadits Ibnu ‘Abbas dalam As-Shahih yang maknanya “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam pada kepalanya dan beliau dalam keadaan puasa dan berihram”. Namun sebaiknya pengeluaran darah ini ditinggalkan oleh yang berpuasa tekhusus kalau akan berpengaruh pada puasanya.
Tambahan: Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan:
Penggunaan obat tetes pada hidung untuk pengobatan maka kebanyakan ulama menyatakan hal itu tidak membatalkan karena hidung bukanlah jalannya makanan.
Dan bercelak di saat puasa tidaklah mengapa dan tidak mempengaruhi puasanya, karena mata bukanlh jalannya makanan.

Termasuk pembatal puasa juga adalah keluarnya darah haidh dan nifas.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah lewat,

فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ

“Maka kami diperintahkan untuk menqadha’ puasa.”
Maka seorang wanita jika datang haidhnya atau keluar darah nifas maka batal puasanya dan tidak sah untuk puasa. Dan demikian dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa wanitaa dikatakan kuraang agamanya yaitu disaat adatng haidhnya karena dia disaat itu meninggalkan puasa dan shalat.
Dengan ini kita mengetahui bahwa puasa tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan pembatal puasa ini. Siapa yang menggampangkan urusannya dikhawatirkan baginya ancaman yang keras sebagaimana dalam hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلاَنِ ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ ، فَأَتَيَا بِي جَبَلاً وَعْرًا … فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ ، قُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ ؟ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِي ، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ ، مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ ، تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ : قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Ketika aku tidur datang kepadaku dua orang keduanya memegang kedua lenganku lalu mengajakku ke suatu gunung ynag terjal… Lalu aku naik hingga aku sampai di pucuk gunung tiba-tiba terdengar suara yang keras, maka aku berkata: “Suara apakah ini?” Mereka berkata: “Ini adalah lolongan penghuni neraka.” Kemudian dia beranjak bersamaku tiba-tiba terlihat suatu kaum yang tergantung pada urat di atas tumitnya tercabik-cabik sudut mulutnya, darah mengucur dari sudut mulut. Aku berkata: “Siapa mereka itu?” Dia berkata: “Mereka adalah orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (sebelum waktunya).”
Ini hukuman bagi orang yang berbuka sebelum waktunya, lalu bagaimana dengan orang yang berbuka di setiap detik hari-harinya. Bermudah-mudahan dalam menentukan waktu berbuka, tidak bersabar dan berkhianat dalam puasanya. Menampakkan di hadapan manusia dia sedang puasa padahal dia tidak puasa, atau tidak bersabar dari syahwatnya.
Siapa yang sengaja berbuka tanpa udzur syar’i maka tidak diterima darinya qadha’. Diriwayatkan sebuah hadits yang maknanya: “Siapa yang membatalkan puasa dengan sengaja pada Ramadhan tidak tergantikan puasa selama masih ada waktu meskipun dia melakukan puasa itu”. Meskipun hadits ini lemah akan tetapi maknanya benar didukung oleh keumuman dalil-dalil yang lain.

Senin, 06 Agustus 2012

I'tikaf



I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.

Pengajian Ramadhan : I'tikaf
I'tikaf dalam pengertian bahasa berarti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama, I'tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان ، متفق عليه .

" Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Rasulullah saw. biasa beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما ـ رواه البخاري.

"  Dari Abu Hurairah R.A. ia berkata, Rasulullah SAW. biasa beri'tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri'tikaf selama dua puluh hari. (Hadist Riwayat Bukhori).

 Sebagian ulama mengatakan bahwa ibadah I'tikaf hanya bisa dilakukan dengan berpuasa.

Tujuan I'tikaf.

1. Dalam rangka menghidupkan sunnah sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba.

2. Sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam meramaikan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah swt.

3. Menunggu saat-saat yang baik untuk turunnya Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan ibadah seribu bulan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat 97:3.

4. Membina rasa kesadaran imaniyah kepada Allah dan tawadlu' di hadapan-Nya, sebagai mahluk Allah yang lemah.

Rukun I'tikaf.

I'tikaf dianggap syah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut :

1. Niat. Niat adalah kunci segala amal hamba Allah yang betul-betul  mengharap ridla dan pahala dari-Nya.

2. Berdiam di masjid. Maksudnya dengan diiringi dengan tafakkur, dzikir, berdo'a dan lain-lainya.

3. Di dalam masjid. I'tikaf dianggap syah bila dilakukan di dalam masjid, yang biasa digunakan untuk sholat Jum'ah. Berdasarkan hadist Rasulullah saw.

" ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـ رواه أبو داود.

"Dan tiada I'tikaf kecuali di masjid jami' (H.R. Abu Daud)

4. Islam dan suci serta akil baligh.


Cara ber-I'tikaf.

1. Niat ber-I'tikaf karena Allah. Misalnya dengan mengucapkan : Aku berniat I'tikaf karena Allah ta'ala.

نويت الاعتكاف لله تعالى

2. Berdiam diri di dalam masjid dengan memperbanyak berzikir, tafakkur, membaca do'a, bertasbih dan memperbanyak membaca Al-Qur'an.

3. Diutamakan memulai I'tikaf setelah shalat subuh, sebagaimana hadist Rasulullah saw.

وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة "ـ متفق عليه .

"Dan dari Aisyah, ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak ber-I'tikaf beliau shalat subuh kenudian masuk ke tempat I'tikaf. (H.R. Bukhori, Muslim)

4. Menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak berguna. Dan disunnahkan memperbanyak membaca:

أللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عنا

Ya Allah sesungguhnya Engkau Pemaaf, maka maafkanlah daku.


Waktu I'tikaf.

1. Menurut mazhab Syafi'i I'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya seseorang ber-I'tikaf. Begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan ia niat I'tikaf maka syahlah I'tikafnya.

2. I'tikaf dapat dilakukan selama satu bulan penuh, atau dua puluh hari. Yang lebih utama adalah selama sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh hadist di atas.


Hal-hal yang membatalkan I'tikaf.

1. Berbuat dosa besar.

2. Bercampur dengan istri.

3. Hilang akal karena gila atau mabuk.

4.Murtad (keluar dari agama).

5. Datang haid atau nifas dan semua yang mendatangkan hadas besar.

6. Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak atau uzur, karena maksud I'tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan hanya untuk ibadah.

7. Orang yang sakit dan  membawa kesulitan dalam melaksanakan I'tiakf.


Hikmah Ber-I'tikaf .

1. Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah.

2. Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan  jiwa.

3. Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.

4. Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadar.

5. I'tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid.

6. Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan.

Minggu, 05 Agustus 2012

Panduan I’tikaf Ramadhan


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Sumber : Muslim.or.id